body{display:block; -khtml-user-select:none; -webkit-user-select:none; -moz-user-select:none; -ms-user-select:none; -o-user-select:none; user-select:none; unselectable:on;}

Tuesday 10 February 2015

Kita Dinilai Berdasarkan Peran

Ada banyak hal kriteria penilaian yang mungkin sudah ditetapkan oleh Sang berwenang dalam menilai sesuatu atau seseorang. Seberapa bernilai diri kita dimata keluarga, masyarakat, bangsa dan agama. Point terakhir adalah yang paling penting menurut saya, karena jika bernilai di mata agama maka besar harapan untuk bisa masuk syurga Nya.
Dalam artikel yang lain yang juga dalam blog ini telah saya singgung sedikit mengenai sebuah nilai (value) menurut masing-masing individu. Sebuah keluarga dikatakan produktif jika ia mampu menghasilkan, menghasilkan apa saja, entah itu uang, kebahagiaan (non materi) dan semua kebaikan, dan tentunya ini berkaitan dengan peran yang dijalaninya. Baiklah, kali ini saya akan membahas tentang peran masing-masing anggota keluarga.
Perlu diketahui bahwa salah satu kriteria penilaian seseorang seberapa besar peran yang dilakukannya. Tergantung lingkup mana ia berkiprah. Nah, karena masing-masing individu pasti mempunyai keluarga (lingkup yang paling kecil) maka bisa di artikan seberapa bernilaikah ia dalam keluarganya, nah ini terlihat dari perannya. Saya akan memulai dari peran seorang ayah. Ehm! tes 1 2 dicoba... (hehe).

Peran seorang ayah (Suami)

Peran suami / ayah adalah sebagai kepala keluarga (satu), sebagai seorang muslim (dua). Sebagai seorang pemimpin keluarga hendaknya mempunyai sifat yang tegas. Tegas dalam artian bisa membentengi anggota keluarganya dari api neraka. Jika salah satu anggota keluarganya melakukan suatu hal yang melanggar norma, baik itu norma agama ataupun norma-norma yang lain, haruslah seorang pemimpin keluarga berani menegur dan meluruskan. Sikap yang demikian pada hakikatnya menjaga diri dan keluarga dari api neraka (QS Attahrim 6). Itu tugas pokok bagi seorang suami. Jika dirinya salah, maka dengan lapang dada ia mau menerima teguran dan meminta maaf jika memang itu menjadi suatu keharusan, bahkan kepada anaknya jika memang terbukti salah. Ini bukan suatu hal yang bisa merendahkan harkat martabat sebagai seorang ayah tapi justru memberikan contoh kepada anaknya untuk mengakui kesalahannya. Sikap tanggung jawab. Meski demikian kewajiban anak terhadap orang tua tetap berlaku dan tidak bisa dihilangkan barang sedetikpun.
Terhadap istrinya, meski ia sangat mencintai istrinya jika suatu saat istrinya melakukan kesalahan juga harus menegurnya, jangan takut kalau dia marah bagaimana? Intinya seorang pemimpin harus bisa menumbuhkan sikap obyektivitas terhadap keluarganya. Adil. Siapa yang salah menurut aturan agama wajib ditegur dan dinasehati. 
Masih yang pertama, karena tugas seorang suami adalah pemimpin rumah tangga maka tugasnya adalah mencarikan nafkah bagi anggota keluarganya. Dalam ajaran Islam telah dijelaskan bahwa mencarikan nafkah bagi keluarganya ibarat sebuah jihad, dan istrinya yang melepaskan dengan ikhlas juga mendapat pahala dari keikhlasannya. Sampai Rasulullah saw pernah memegang tangan salah satu sahabatnya dan mengatakan "tangan ini adalah tangan syurga" karena tangan seorang laki-laki itu mencangkul dan bekerja di ladang untuk menghidupi keluarganya. Jadi segala jerih payah yang dilakukan oleh seorang suami dalam mencari nafkah untuk keluarganya (dengan cara halal) terhitung sebagai pahala yang besar disisi Allah. tidak ada yang sia-sia. Dan hal demikian (mencarikan nafkah / bekerja) saya yakin sangat berarti dalam hidupnya meski tangannya sampai melepuh (baca:rekoso).

Peran yang kedua adalah sebagai seorang muslim. Tidak akan lepas peranan ini sampai ia meninggal dunia. Peran sebagai muslim yang mempunyai kewajiban terhadap Tuhan dan agamanya akan terus berlanjut. Peran ini juga bernilai bagi dirinya. Kerja dapat uang lalu sebagian ia infaq kan, itu demi menjalankan ajaran Islam dan ia menganggap hal demikian berarti bagi dirinya maka dengan senang hati ia mengeluarkan sebagian rezki yang sudah diberikan Allah terhadapnya. Jika ia tidak mampu mengeluarkan atau ia sengaja tidak mengeluarkan infaq atau zakat maka ia akan merasa gundah dalam hatinya. Ini berarti infaq (uang) yang dikeluarkan di jalan Allah membuat hatinya lebih tenang dan bernilai bagi dirinya. Ia tidak akan sungkan mengeluarkan banyak uang untuk fi sabilillah karena ia ingin menunjukkan perannya dalam kiprah agama. Inilah seorang muslim yang produktif. Ukuran nya tidak hanya seberapa besar uang yang ia keluarkan, melainkan seberapa manfaat dirinya untuk Islam sebagai satu-satunya agama yang diridloi Allah.
Jika seorang laki-laki bisa melakukan kedua perannya itu dengan baik maka ia disebut ayah yang produktif (ini versi saya). Intinya, ia mampu menghasilkan sesuatu yang bermanfaat dalam sebuah  ranah perjuangan yang memberikan makna / nilai bagi dirinya dan lingkungan sekitarnya. Maka benarlah falsafah yang diajarkan Rasulullah, bahwa sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat untuk manusia lain. Ternyata falsafah ini akan mengangkat derajat kita menjadi manusia berbobot.

Baiklah, mungkin sekian dulu ulasan dari saya mengenai sebuah peran seorang laki-laki (ayah). Semoga kita bisa menjalankan peran kita dengan sebaik-baiknya dan bernilai dimata Allah Sang Pencipta. Dilain kesempatan akan saya paparkan mengenai peran seorang ibu dan anak. Insyaallah. 

Salam sukses dari saya untuk semua kelurga Indonesia.

No comments:

Post a Comment